NAMA : ATIKAH RAHMAWATI
KELAS :
2EA11
NPM
: 11210214
TUGAS
:
URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BAGI PEMBANGUNAN BUDAYA DEMOKRASI DI INDONESIA
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu
mata pelajaran di sekolah bahkan menjadi mata kuliah wajib di beberapa
Universitas, salah satunya adalah mata kuliah wajib di Universitas Gadjah Mada.
Hal ini menjadi menarik ketika kita mengetahui banyak siswa atau mahasiswa yang
menganggap remeh mata kuliah ini.
Pada satu sisi pemerintah dan instansi
pendidikan menginginkan anak didiknya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi
beserta pemahaman yang baik tentang aturan-aturan hingga hak dan kewajiban
menjadi warga negara Indonesia. Akan tetapi di sisi lain para mahasiswa menganggap
suatu hal yang tak perlu mempelajari kewarganegaraan di bangku kuliah. Mereka
banyak berargumen bahwa mata kuliah ini telah cukup mereka dapatkan mulai dari
Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama bagi mereka
yang kuliah di Fakultas nonsosial atau nonpolitik. Seperti mahasiswa-mahasiswi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), mereka beranggapan mata
kuliah kewarganegaraan tidak ada hubungannya dengan bidang keahlian yang mereka
ambil dan menganggap pendidikan kewarganegaraan tidak perlu untuk dipelajari di
FMIPA.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman mahasiswa
tentang pentingnya pendidikan kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka umumnya hanya sekedar mengetahui dan menghafal pasal-pasal UUD 1945 dan bab-bab
lainnya, tanpa adanya pemahaman mendalam yang kemudian dapat di aplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kasus peremehan mata kuliah pendidikan
kewarganegaraan ini terjadi akibat dari adanya kebobrokkan para pejabat
pemerintah Negara Indonesia yang gemar dan terkenal akan korupsi kolusi dan
nepotismenya (KKN).
Dengan fakta ini menjadikan para mahasiswa
tidak merasa bangga berwarganegara Indonesia dan pesimis akan masa depan bangsa
ini. Mereka tidak terpikir akan bagaimana aturan menjadi seorang saintis yang
baik di Indonesia misalnya, atau mengetahui dan faham akan hak-hak dan
kewajiban warga negara Indonesia di bidang pendidikan dan kebebasan
berpendapat. Dengan demikian banyak dari para mahasiswa yang melakukan
demonstrasi dengan cara yang tidak tahu aturan, seperti melakukan kerusuhan dan
merusak fasilitas-fasilitas yang ada. Hal ini jelas terjadi akibat tidak adanya
pemahaman yang baik tentang tata cara berdemonstrasi atau menyampaikan
pendapat. Selain dari pada itu sikap tak tahu aturan yang dilakukan para
demonstran mahasiswa dipicu oleh ketidakbecusan dan keengganan para petinggi
bangsa bahkan wakil rakyatnya untuk mentaati aturan yang berlaku. Hal itulah
sebenarnya yang perlu diperbaiki dalam menata negara Indonesia supaya menjadi negara
yang kokoh dalam penegakkan hukum hingga setiap rakyat maupun pejabatnya taat
terhadap aturan.
Dari pernyataan di atas kita dapat
mengetahui seberapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan bagi siswa maupun
mahasiswa di Indonesia. Karena bagaimanapun juga kita hidup di Negara Indonesia
dan mau tidak mau harus mentaati aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Karena
apabila kita ingin bangsa ini maju, maka harus ada komitmen untuk mentaati
segala aturan yang berlaku di Indonesia, dan untuk dapat mentaatinya, maka kita
harus mengetahui segala aturan tersebut. Dengan adanya mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan inilah kita dapat mengetahui dan memahami segala aturan, hak
dan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Dari fakta yang kita
ketahui, bangsa yang maju adalah bangsa-bangsa yang ketat dalam penegakan hukum
dan patuh dalam mentaati aturan negaranya. Contohnya adalah Singapura dan
Amerika Serikat.
Urgensi pendidikan kewarganegaraan bagi
mahasiswa menurut saya dibutuhkan saat ini. Dengan keadaan bangsa yang dalam
gejolak krisis ini, mahasiswa patut untuk ditumbuhkan semangat kebangsaan dan
cinta tanah airnya. Bagaimanapun para mahasiswa adalah generasi pengganti
bangsa ini di masa mendatang. Dengan pemahaman yang baik dan aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari yang sesuai aturan, maka diharapkan akan terbentuk suatu
jajaran generasi pengganti yang diharapkan dapat mengganti kebiasaan buruk para
pejabat bangsa ini. Selain itu dengan generasi yang mengerti dan faham akan
berwarga negara Indonesia, harapan untuk kemajuan bangsa ini akan terlaksana.
Tentu saja dalam membangun warga negara
yang memiliki sadar hukum yang tinggi tidak dapat dilakukan secara instan.
Diperlukan waktu yang tidak sedikit dalam membangun rakyat dan pejabat bangsa
ini memiliki kesadaran hukum yang baik dan merasa berkewajiban untuk membangun
negaranya. Hal inilah yang perlu terus-menerus dibenahi dalam membangun
masyarakat Indonesia yang maju dan makmur. Penegakkan hukum yang tidak tebang
pilih juga menjadi PR bagi bangsa ini dalam mencapai cita-citanya. Salah satu
cara dalam mebangun kesadaran cinta tanah air dan berkesadaran hukum yang
tinggi adalah dengan memberikan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Maka
dengan demikian para mahasiswa dapat memahami segala bentuk hak-hak dan
kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan dapat
membentuk mahasiswanya untuk menjadi warga negara Indonesia yang aktif. Karena
untuk menjadi aktif kita harus tahu ilmu dan segala bentuk pengabdian bagi
bangsa Indonesia yang sesuai aturan, dan semua itu bisa kita dapatkan dalam
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan argumen diatas, maka sebenarnya tidak
ada alasan bagi mahasiswa untuk menolak atau meremehkan mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Karena kita hidup dan tumbuh di tanah air Indonesia, maka mau
tidak mau kita harus mengikuti segala bentuk aturan yang berlaku di Indonesia
dan mengetahui hak-hak dan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Perlu
diingat, negara yang maju adalah negara yang rakyatnya memiliki kesadaran hukum
yang tinggi. Karena hukum adalah suatu aturan untuk menata dan mengkoorsinasi
dalam mencapai cita-cita suatu bangsa.
METODOLOGI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN
Secara tradisional, khususnya di Indonesia, baik
dalam rangka mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
atau sebelumnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun dalam rangka Penataran
P-4, demokrasi terkesan lebih banyak diajarkan atau dan bukan dipelajari dengan
peran guru/dosen/penatar/manggala yang lebih dominan. Karena itu situasi
kelasnya pun, dengan meminjam lebih bersifat dominative dan bukan integrative.
Dampak instruksional dan pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih
bersifat pengetahuan atau knowledge oriented. Oleh karena itu dapat dipahami
mengapa bangsa Indonesia dalam berbagai lapisan sosial terkesan belum bisa
menjalankan cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi (Asia Foundation, 1998).
Keadaan itulah yang ingin diatasi melalui upaya
dikembangkannya paradigma baru pendidikan kewarganegaraan yang urgensinya
tampak begitu kuat, sebagaimana ditemukan dalam National Survey: Needs-Assessment
for New Indonesian Civic Education (CICED, 1999).
Sebagaimana dirumuskan sebelumnya, paradigma baru
pendidikan kewarganegaraan, yang nota bene tercakup pendidikan demokrasi dan
HAM didalamnya, secara metodologis menuntut perbaikan dalam ketiga dimensinya,
yakni dalam curriculum content and instructional strategies; civic education
classroom; and learning environment (CICED, 1999a). Pertama, diyakini bahwa isi
kurikulum dan strategi pembelajarannya ditekankan bahwa “…for all levels of
schools should be carefully selected and dynamically organized integratedly
upon the bases of democratic ideals, values, norms, and moral; psychologically
relevant to individual development, contextually relevant to various learning
environment, and scientifically sound” (CICED, 1999a).
Implikasi dari
semua prinsip tersebut adalah bahwa kurikulum dan strategi pembelajaran
pendidikan demokrasi seyogyanya dikembangkan secara sistemik (lintas jenjang,
jalur, dan bidang), dengan konsep dasar demokrasi yang komprehensif (utuh dan
lengkap), dan dengan organisasi kurikulum yang berdiversifikasi merujuk kepada
life cycle anak (perkembangan kognitif, afektif, sosial-moral, dan skill);
serta lingkungan belajar setempat (desa, kota). Dengan kata lain, kurikulum
pendidikan demokrasi seyogyanya mengandung aspek ideal yang bersifat nasional,
aspek instrumental yang bercorak ragam, dan aspek praksis yang adaptif terhadap
lingkungan setempat. Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum dan strategi
pembelajaran pendidikan demokrasi dan HAM, seyogyanya melibatkan para ahli dan
praktisi pendidikan kewarganegaraan; para ahli dan praktisi disiplin sosial
terkait seperti: politik, hukum, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi; dan
wakil birokrat pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat setempat dan LSM
terkait. Isi inti kurikulum seyogyanya mengandung muatan nasional, muatan
regional, dan muatan lokal.
Pendekatan pembelajaran yang disarankan
untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan
pemecahan masalah. Salah satu model pembelajaran yang kini secara internasional
diterapkan secara adaptif adalah model “We the People…Project Citizen” (CCE,
1992-2000). Model ini dikenal sebagai A portfolio-based civic education project
yang dirancang untuk mempraktekkan salah satu hak warganegara, yakni the right
to try to influence the decision people in his/her government make about all of
those problems (CCE, 1998), dengan cara melibatkan siswa melalui suatu “proyek
belajar” yang secara prosedural menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Identify a problem to study;
2) Gather Information;
3) Examine Solutions;
4) Develop students’ own public policy;
5) Develop an Action Plan.
Seluruh kegiatan siswa dengan langkah-langkah tersebut
diakhiri dengan penyajian hasil proyek dalam bentuk Portfolio di hadapan para
pejabat publik terkait untuk mendapat tanggapan, dan bila perlu dijadikan
masukan bagi pembuatan kebijakan publik di daerahnya. Hasilnya ternyata bukan
saja siswa menjadi lebih peka dan tanggap terhadap masalah kebijakan publik
tetapi lebih jauh, di banyak negara seperti di beberapa negara bagian di USA,
beberapa kota di Italia, Bosnia, Rusia, Nigeria, Mongolia, Croatia, Polandia,
Ceko, Ukraina, Macedonia, Mesir, Turki, Irlandia, Canada, Slovenia, Rumania,
Jerman, Philippina, Kazkastan, dan beberapa negara emerging democracies lainnya
(CIVITAS, 2000), temuan proyek siswa itu benar-benar diadopsi oleh pemerintah
setempat sebagai bagian dari kebijakan publik di daerahnya.
Dengan demikian para guru dan siswa dapat melakukan
refleksi betapa bermanfaatnya nilai dan prinsip demokrasi diterapkan dalam
kehidupan di sekolah yang diintegrasikan dengan kehidupan di dalam
masyarakatnya. Di situlah kelas pendidikan demokrasi benar-benar dikembangkan
sebagai laboratorium demokrasi yang tidak dibatasi oleh empat dinding ruangan
kelas. Untuk Indonesia, model tersebut telah diadaptasi menjadi model “Proyek
Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) yang kini sedang diujicobakan
oleh CICED bekerjasama dengan Kanwil Depdiknas Jawa Barat dan Pusbangkurrandik.
Uji coba dilakukan di enam SLTP Negeri di sekitar Bandung, Jawa Barat, yang
akan berlangsung selama satu caturwulan mulai bulan Agustus sampai dengan
Nopember 2000.
KESIMPULAN
Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan,
paradigma baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992;
Bahmuller, 1996; Winataputra; 1999):
- Memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia.
- Mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu.
- Tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih.
- Tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks.
- Dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.Pendekatan dan metodologi pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah.
0 komentar:
Posting Komentar